Karnasnews – Terkait putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menolak gugatan berkaitan pernikahan beda agama dalam sidang pada Selasa (31/1/2023), Anggota Komisi VIII DPR RI Bukhori Yusuf memberikan aparesiasi.
Menurut Bukhori, putusan MK sejalan dengan amanat konstitusi dan aspirasi umat Islam yang telah jauh-jauh hari pihaknya suarakan. Diketahui, Bukhori menyuarakan penentangan itu sejak Maret dan Desember 2022.
“Kami mengapresiasi putusan MK tersebut mengingat sejak awal kami menentang nikah beda agama karena selain bertentangan dengan konstitusi, juga bertentangan dengan ajaran Islam,” kata Bukhori melalui keterangan tertulisnya, Rabu (1/2/2023).
Dia menyebut penentangan yang dilakukan, khususnya merespons pernikahan beda agama yang terjadi di Semarang dan putusan Pengadilan Negeri Tangerang yang mengesahkan pernikahan beda agama.
Pernikahan beda agama bertabrakan dengan isi Pasal 28J UUD 1945 Ayat 2 yang menjelaskan, bahwa setiap orang wajib tunduk terhadap pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dalam memenuhi hak dan kebebasan.
Di sisi lain, lanjut Anggota Komisi Agama DPR ini, HAM dalam perspektif konstitusi tidak bermakna liberal. “Dia dibatasi oleh pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum,” terangnya.
Politisi PKS ini meminta polemik pernikahan beda agama segera diakhiri. Negara melalui MK telah menerbitkan fatwanya terkait pandangan hukum soal pernikahan beda agama. “Sudah tepat jika hal ini dikembalikan pada UU Perkawinan,” katanya.
Dia berharap semua pihak menghormati putusan MK itu. Sebab negara telah bersikap. “Perhatian ini dalam upaya memelihara suasana kerukunan umat beragama yang saling menghormati dan menghargai ajaran masing-masing,” imbuhnya.
Diketahui, MK telah memutuskan menolak gugatan berkaitan nikah beda agama. MK tetap berpegang pada pendiriannya soal nikah beda agama seperti diatur di UU Perkawinan.
Dalam konklusinya, MK menegaskan pokok permohonan soal nikah beda agama tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya. “Mengadili, menolak permohonan pemohon untuk seluruhnya,” kata Ketua MK Anwar Usman saat membacakan putusan tersebut.
UU Perkawinan ini didugat oleh seorang pemuda asal Kampung Gabaikunu, Mapia Tengah, Provinsi Papua. Dalam pokok permohonannya, pemohon menyampaikan sejumlah dalil yang menyatakan inkonstitusionalitas Pasal 2 Ayat (1) dan Ayat (2) serta Pasal 8 huruf f UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Menurut pemohon, perkawinan adalah hak asasi yang merupakan ketetapan atau takdir tuhan. Setiap orang berhak untuk menikah dengan siapa pun, terlepas dari perbedaan agama. Atas dasar itu, pemohon menilai negara tidak bisa melarang atau tidak mengakui pernikahan beda agama.
Dia juga menilai, negara harus bisa memberikan suatu solusi bagi pasangan beda agama. Alasan lainnya, Pasal 2 Ayat (1) pada UU Perkawinan pada hakikatnya dinilainya telah menimbulkan penafsiran yang berbeda-beda dengan yang dimaksud dengan “hukum masing-masing agama dan kepercayaan itu”.
Menurut pemohon, banyak institusi agama yang tidak bersedia melangsungkan perkawinan beda agama termasuk adanya penolakan pencatatan oleh petugas catatan sipil. Jika perkawinan hanya diperbolehkan dengan yang seagama. hal ini dinilainya mengakibatkan negara pada hakikatnya memaksa warga negaranya.
Discussion about this post